Mengeluh

Oleh: Sidik

Dari apa yang saya dapatkan semalam, guru saya memberikan wejangan bahwasanya mengeluh merupakan suatu bentuk dari ketidakterimaan terhadap apa yang ditakdirkan oleh Allah SWT terhadap diri kita. Namun, di pagi hari yang matahari baru mulai bersiap menyongsong keberkahan sayyidul ayyam saya mendapat pesan masuk melalui aplikasi berbagi pesan WhatsApp dari salah seorang teman baik saya yang mengutarakan standing position dari keluhan seorang manusia. Apa yang disampaikan oleh teman saya jelas vis a vis dengan yang disampaikan guru saya ngaji. Menurutnya, mengeluh merupakan bagian dari kehidupan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dengan diri kita selaku hamba-Nya.

Memang menarik jika kita menimbang secara seksama terkait persoalan mengeluh ini tadi, mengapa demikian? Ya namanya kita juga manusia tak sempurna dan kadang salah. Toh kita juga tidak terlalu berjarak dengan yang namanya mengeluh.

Dilihat dari sudut pandang guru saya mengapa mengeluh itu menjadi tanda bahwa kita tidak menerima takdir Allah SWT ini disebabkan bahwa kita selaku manusia tidak diciptakan sendirian. Artinya, jika masih ada manusia lain sudah barang pasti orang lain pun diuji lha wong sama-sama manusianya. Di samping itu, beliau mengibaratkan manusia hidup itu laiknya seorang yang sedang berada di tengah lautan yang sedang berjuang menuju pesisir kehidupan yang abadi (negeri akhirat). Ada yang dibekali kapal pesiar sebagai alat dari Allah SWT, ada yang berkendaraan perahu kertas atau sampan. Ada yang dibekali sebuah ban, dan ada juga yang hanya memiliki sebatang pohon pisang–guru  saya mencontohkan dengan sebatang bambu.

Dalam wejangan guru saya, antara manusia satu dengan manusia yang lain, tidak boleh iri dan melihat ke atas. Maksudnya setiap manusia yang berjuang hanya dengan sebatang pohon pisang tak perlu iri dan melihat mereka yang memiliki kapal pesiar dalam proses menuju pantai kehidupan abadi–akhirat. Pemahaman yang beliau tanamkan kepada kami ialah, pahala yang diberikan oleh-Nya itu berbanding lurus dengan seberapa besar upaya kita dalam mejalani hidup. Jadi, menurut beliau, orang yang memiliki usaha lebih besar, maka Allah SWT akan memberikan pahala sebesar usahanya dalam berjuang menuju kehidupan abadi. Nah, dari sinilah ketemunya pemahaman bahwa mengeluh adalah tanda ketidakterimaan terhadap takdir yang ditetapkan oleh-Nya.

Sebab, masing-masing kita sudah dibekali modal awal dari Allah SWT meskipun hanya sebatang pohon pisang saja. Dari pituah beliau, Allah tidak akan membiarkan hambanya kelaparan apa lagi sampai tidak diurusi terkait masalah hidup di dunia ini. Selain itu, saat orang yang hanya bermodalkan pohon pisang itu menghabiskan waktunya untuk mengeluh saat melihat modal orang lain, sungguh itu sebuah kesia-siaan. Artinya begini, lha wong kita sudah menyadari bahwa modal kita di lautan hanya pohon pisang, mau diapa-apakan juga akan tetap sama – tidak akan berubah modal (takdir-Nya), daripada mengeluh meratapi keadaan maka lebih baik digunakan untuk berjuang mengayuhkan tangan berenang menuju pantai kehidupan abadi?

Yang perlu diingat adalah Allah memberikan pahala sebanding dengan seberapa besar perjuangan hamba-Nya.

Namun, pendapat dari teman saya yang mengatakan bahwa mengeluh merupakan bagian hidup memang tidak salah. Sebab selaku seorang hamba yang lemah sudah barang lumrahkan? jika kita mengeluh pada Penciptannya? Dalam pemikiran saya, mengeluh merupakan tanda bahwa kita hanyalah sebatas hamba-Nya yang lemah. Sebenarnya, dalam wejangan Guru saya, beliau juga memerintahkan untuk mengeluhlah kepada Pencipta kita, nggak usah mengumbar keluhan kita di hadapan makhluk-Nya.

Kenapa demikian? Sekali lagi, yang diuji oleh-Nya bukan hanya dapuranmu thok slurrr... Mbok pikir sing liyane ora diuji? Yo diujilah! Lha mbok kiro urip iku dudu ujian? Yo ujian lah. “Yen wegah rekoso yo ojo urip! Lha wong urip iku lahan kanggo berjuang.

Anda berhak memilih, mau sambat (mengeluh) atau tidak. Mengeluh merupakan tanda bahwa kita manusia, di samping itu, kadang dengan mengeluh kita merasa lebih baik ketimbang tidak mengeluh. Tapi jangan sampai hidup dihabiskan hanya untuk mengeluh. Dan yang menjadi konteks dari wejangan guru saya ialah menguatkan para hadirin yang mayoritas petani. Pada saat ini, petani sedang diuji dengan hama tikus yang mengganggu tanaman padi milik para petani.

Beliau berpesan bahwa, padi yang rusak dimakan tikus merupakan cara Allah SWT dalam menyelamatkan hamba-Nya dari hasil padi yang bisa jadi akan menjadi sumber penyakit bagi keluarga atau anak cucunya. Beliau mengibaratkan dengan seorang ayah yang membawakan lauk kesukaan anaknya. Namun, anaknya yang dibawakan telah tidur dan saat dibangunkan anaknya tidak mau memakannya. Pada akhirnya disimpanlah di suatu tempat sampai waktu subuh menjelang. Saat dibuka, ternyata sudah dimakan tikus dan ada kotoran di atas lauk tersebut. Walhasil, lauk tersebut dibuang oleh sang ayah. Pagi hari itu,anaknya menanyakan kemana lauk yang dibawakan sang ayah. Dan diketahui bahwa ayahnya membuang lauk kesukaannya maka anak tersebut memiliki pandangan bahwa ayahnya tidak mencintainya.

Padahal sejatinya tidak demikian, ayahnya membuang karena ingin anaknya tidak sakit akibat memakan lauk yang dimakan tikus. Begitu pula Allah SWT dalam mengirimkan hama terhadap padi para petani yang datang dalam majelis ilmu tadi malam. Kamis malam Jumat, 7 Agustus 2020.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini