Saat Agama Benar-benar Menjadi Candu di Tengah Pandemi


 Oleh: Sidik Pramono

Ungkapan “Agama adalah candu” yang dilontarkan oleh K.H* Marx, merupakan ungkapan yang terkenal hingga sekarang. Perkataan tersebut juga banyak menuai pro dan kontra di berbagai kalangan. Terlepas dari diterima atau tidak oleh masyarakat, kata-kata tersebut masih bergaung hingga saat ini. Kata-kata yang diungkapkan oleh pria berjenggot tebal ini bukanlah terucap begitu saja tanpa ada yang menyebabkan. Sudah menjadi kepastian bahwa suatu apapun yang menjadi buah pikir manusia tidak lahir pada ruang hampa. Begitu pula, perkataan K.H Marx ini. Kita tidak bisa menyalahkan atau menafikan begitu saja tanpa mencoba menelisik apa sebabnya dia berkata demikian? Dalam konteks yang bagaimana kata-katanya ditujukan? Dan siapa yang mewarnai pikirannya (guru)? Sehingga kita tidak terjebak dalam kefanatikan maupun penolakan buta sekaligus kita dapat menganalisa mana yang baik, mana yang buruk terhadap sebuah pikiran seseorang.
Bukan lagi rahasia umum, bila salah satu orang yang mewarnai pikiran K.H Marx dalam disiplin ilmu yang dipelajarinya adalah Ludwig Feuerbach. Dapat dibilang bahwa kritik agama Feuerbach menjadi titik tolak seluruh pemikiran Marx kemudian (Franz Magnis-Suseno 1999). K.H Marx mempelajari pemikiran Feuerbach saat dirinya berada di Jerman. Feuerbach menjadi tokoh yang dipelajari Marx pasca mempelajari Hegel. Feuerbach menjadi seorang tokoh yang Marx kagumi dengan benang merah pemikirannya soal keterasingan seseorang itu disebabkan oleh agama tertuang dalam bukunya yang berjudul Das Wesen des Christentums (Hakikat Agama Kristiani). Seperti yang ada dalam buku Franz Magnis-Suseno, “Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme” disebutkan, Bagi (Marx) Feuerbach menjadi aliran api yang membakar pikirannya sehingga baginya terbuka pengertian baru.
Walau Marx tidak berfokus pada prinsip bahwa agamalah yang menjadi sebab keterasingan manusia seperti yang dibawakan Feuerbach, namun, dirinya juga berpendapat soal agama, salah satunya adalah perkataannya yang ditulis di awal tulisan ini. Di samping Marx kagum terhadap Feuerbach, dirinya juga mengkritik pemikiran gurunya tersebut.
Sebagaimana yang ditulis Franz Magnis-Suseno, bagi Marx, agama hanyalah tanda keterasingan manusia tetapi bukan dasar dari keterasingan. Dalam pandangan Marx, agama hanyalah sebuah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri. “Agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Ia adalah candu rakyat” [ICHR, MEW 1, 378].
Agama adalah tempat pelarian seorang manusia dari realita yang ada. Agama sebagai candu akhirnya akan membuat manusia terjerembab dalam kewarasan yang kabur sehingga timbul sebuah kesadaran palsu. Seperti yang disampaikan Ahmad Fauzi dalam dialog publik yang diselenggarakan di UIN Walisongo Semarang. Dirinya mengatakan, “Agama sebagai candu (seperti kata Marx) adalah agama yang berubah menjadi ideologi yang mengkaburkan kewarasan sehingga timbul kesadaran palsu, layaknya sebuah candu.”
Candu seperti yang ada dalam KBBI adalah getah dari pohon Papaver somnifeeum yang dapat mengurangi rasa nyeri dan merangsang rasa kantuk serta menimbulkan rasa ketagihan bagi yang sering digunakan. Sekali lagi, walau Marx tidak begitu konsen terhadap kajian keagamaan, ungkapan yang ia sampaikan menurut penulis masih tetap relevan.
Sebab “Agama Sebagai Candu”
Agama dapat menjadi candu sebab di dalam agama seseorang akan mendapat suatu harapan yang membuat manusia memliki pengandaian yang seolah-olah nyata, dan dalam agamalah manusia mendapat stimulan untuk menyambung semangat untuk menghadapi kejamnya realitas hidup yang akan dihadapi.
Tedi Kholiluddin dalam bukunya Bersarung Menatap Salib menjelaskan, hal yang membuat agama tetap dapat bertahan sekaligus menjadi pengangan hidup kaumnya salah satunya disebabkan oleh harapan yang ada dalam agama. Harapan tentang kebahagiaan abadi, tempat yang indah nan kekal. Kala derita melanda, agama memberikan penenang; harapan akan segera berakhirnya penderitaan dan hadirnya kebahagiaan. Jika tidak di dunia, berarti di akhirat kelak. Dalam tulisannya, Tedi juga mengatakan harapan itu adalah setengah dari kebahagiaan.
Harapan di dalam agama ada kemiripan dengan harapan atau angan-angan yang diberikan candu pada seseorang. Yakni sama-sama menstimulasi penggunaanya menghadapi kenyataan atau malah membuat penggunanya terjebak dalam harapan (stimulan) yang disajikan agama sehingga tidak mampu atau bahkan cenderung menolak realitas yang ada karena terlalu over menyandarkan pada harapan yang diberikan agama. Sama seperti candu bila dikonsumsi secara over dosis yang menjadi sebab kemabukan, pun juga dalam agama, bila digunakan secara berlebihan akan menyebabkan seseorang masuk dalam kondisi “mabuk agama”. Inilah yang menjadi sebab agama sebagai candu rakyat, utamanya bagi rakyat yang tak kuat menghadapi kekejian realitas hidup.
Pandemi dan Candu Agama
Pada era teknologi yang berkembang pesat ini, tak sedikit kita temui orang yang terjebak dalam pemahaman konservatif terhadap semua sudah tertulis dalam kuasa takdir Illahi hingga tak ada ikhtiar hanya berpangku tangan dengan apa yang digariskan Tuhan serta harapan yang ada dalam agama. Seperti yang saya ungkapkan di atas, ini merupakan salah satu keadaan manusia yang mabuk agama. Fenomena ini dapat terjadi kapanpun terlebih lagi dalam realita yang kejam atau tidak menguntungkan manusia. Khususnya saat pandemi seperti ini. Bukanlah hal yang mengherankan bila agama benar-benar menjadi candu pada saat-saat seperti ini. Sebab, di tengah realitas yang tak berpihak pada manusia, manusia mengharap keselamatan yang dijanjikan dalam agama untuk menghadapi pahitnya keadaan atau mengharap mencapai keselamatan di surga. Pengharapan-pengharapan tersebut termanifestasi dalam kegiatan doa-doa.
Hal seperti ini digugat oleh Yuval Noah Harari dalam tulisannya di Times.com yang telah dialihbahasakan oleh Wijayanto. Yuval menulis, “Sampai era modern, manusia biasanya menyalahkan penyakit pada dewa yang marah, setan atau udara buruk, sudah takdir Tuhan atau azabnya (tambahan dari saya), dan bahkan tidak mencurigai adanya bakteri dan virus. Orang-orang percaya pada malaikat dan peri, tapi tidak bisa membayangkan bahwa setetes air mungkin berisi sepasukan armada pemangsa yang mematikan. Ketika Black Death atau cacar datang berkunjung, hal yang terbaik yang dapat dipikirkan oleh pihak berwenang adalah mengorganisir doa-doa massal untuk dewa dan orang suci. Itu tidak membantu. Justru, ketika orang-orang bersama untuk sembahyang massal itu, sering menyebabkan infeksi massal. Ketika orang-orang berkumpul bersama untuk sembahyang massal itu sering menyebabkan infeksi massal.
Dalam tulisannya Yuval tidak membenarkan manusia beranggapan semua bisa diselesaikan dengan agama. Bila saat ini dengan keadaan pandemi Covid-19 yang sedang terjadi, maka tindakan solutif yang dapat dilakukan bukanlah doa massal atau kegiatan keagamaan seperti yang dijelaskan Yuval Noah Harari, tapi juga menggunakan langkah preventif seperti tetap di rumah, melakukan social distance yang sejauh ini masih dinilai bisa mengurangi penjangkitan pandemi yang ada. Bukan berarti saya anti terhadap agama. Berdoa dan berpasrah diri perlu dilakukan tapi jangan sampai menjadikannya agama sebagai dasar untuk membenarkan kegiatan pengumpulan massa yang sebenarnya akan memudahkan Covid-19 menjangkiti secara massal.
Atau kita yang terlalu fanatis dengan ungkapan “Halah.. semua sudah diatur oleh takdir Tuhan” hingga dalam diri muncul kepercayaan diri yang teramat sangat yang justru akan membuat seorang congkak dan menganggap remeh pandemi yang sedang terjadi. Sesuai dengan pernyataan Koordinator Nasional FNKSDA, Roy Murtadho, “Jangan merasa diri kebal dan menganggap remeh wabah virus Covid-19 ini.”
Menelaah apa yang diungkapkan oleh Gus Roy, jelas kita tak bisa merasa diri kebal dan menganggap remeh pandemi saat ini. Apalagi bila perasaan diri kebal ini disebabkan oleh keyakinan terhadap dogma yang mengatakan semua sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Jelas ini adalah salah satu efek candu agama yang membuat manusia kabur kewarasannya dan tidak bisa ilmiah dalam menyikapi permasalahan yang benar-benar riil terjadi.
Dengan demikian, candu di dalam agama ibarat dua mata pisau yang bisa saja menjadi stimulan manusia agar memiliki semangat dalam menghadapi realitas yang tidak berpihak pada manusia (seperti pandemi saat ini). Atau malah akan mendekap manusia dalam khayalan dari akibat candu agama yang terlalu berlebihan dipercayai manusia sehingga tidak dapat menghadapi kenyataan pada realitas yang terjadi. Yang jelas selaku orang berakal, kita tidak boleh terjebak dalam keadaan mabuk agama dan perlu terus melakukan ikhtiar sehingga agama sebagai candu cukup hanya menjadi stimulan untuk menguatkan diri dalam keadaan sekejam apapun bukan malah menjadi tempat pelarian yang halu dari manusia.

*Karl Heinrich

*Tulisan ini pernah dimuat di eLSA online pada 4 April 2020. Dengan judul “Saat Agama Benar-benar Menjadi Candu Pada Situasi Pandemi

Komentar

Postingan populer dari blog ini